Kamis, 15 Juni 2017

Tragedi perenggutan nyawa secara besar-besaran misterius setelah agresi militer belanda II

Tragedi Gegeblug di Yogyakarta

Tragedi perenggutan nyawa secara masal ini terjadi setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tepatnya setelah geger agresi militer Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948 atau 69 tahun yang lalu di Yogyakarta. Gegeblug sendiri adalah nama istilah dalam tragedi ini dimana banyak masyarakat yang mengalami suatu penyakit atau wabah misterius yang dalam tiga hari setelah terkena wabah tersebut maka akan meninggal. Namun bilamana orang tersebut menderita sakit itu lebih dari tiga hari maka akan selamat.
Menurut sebuah cerita dari pelaku sejarah  atau yang mengalaminya, namanya  Mbah Kardiwiyono. Ketika tragedi itu terjadi mbah Kardi masih berusia belasan yang menjadi salah satu orang selamat dari tragedi itu. Menurutnya, dulu di desa tempatnya tinggal, yaitu desa Cegokan, Wonolelo, Pleret, Bantul hampir 80% penduduk desa meninggal karena penyakit misterius tersebut. Dan simbah-simbah yang sekarang masih hidup ketika ditanyai perihal Gegeblug selalu menceritakan secara detail apa yang pernah dialaminya dan menjadi cerita kelam yang sangat patut untuk ditelusuri fakta apa yang terjadi.
Menurut penurturan dari mbah Kardi, gegeblug terjadi lantaran pengambilan tumbal secara besar-besaran oleh pihak tentara Nyai Roro Kidul. Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai sultan keraton Jogja menurut banyak masyarakat memiliki kedekatan dengan sosok mitos penguasa pantai selatan yang memiliki kerajaan alam ghaib, Nyai Roro Kidul. Sri Sultan meminta bantuan Ratu Selatan untuk melindungi kerajaannya dari gempuran agresi militer penjajah Belanda yang hendak menguasai kembali jajahannya pasca menyerahnya kepada Jepang dan kemerdekaan Indonesia yang menjadi akhir dari kekuasaan kolonial Belanda selama hampir 350 tahun.
Ketika itu angka kematian akibat gegebluk hampir 3 sampai 5 orang perhari. Wabah gegebluk terjadi ketika malam hari. Desa Cegokan berada pada kawasan perbukitan. Menurut pengakuan dari simbah-simbah yang masih hidup, banyak yang melihat cahaya obor yang berkejar-kejaran. Cahaya itu terlihat di lereng-lereng bukit yang banyak menjadi tempat bermukim penduduk. Namun orang yang berumah di lereng-lereng tersebut tidak pernah melihat cahaya obor itu. Justru mereka melihat kebalikannya. Obor itu juga terlihat di tempat lain yang juga sama, cahaya obor itu berkejar-kejaran. Cahaya itu terlihat pada malam hari. Dan ketika obor itu terlihat, muncul suara-suara ghaib dan selalu berbunyi seperti kentongan. Bunyi itu menandakan jumlah orang yang akan meninggal. Jika bunyi kentongan itu terdengar 3 kali maka keesokan harinya pasti ada 3 orang yang meninggal.
Sampai sekarang menurut beberapa saksi mata kejadian tersebut selalu menceritakan hal yang sama terjadi pada masa kelam itu. Namun perihal kebenaran apakah itu merupakan tumbal dari prajurit Nyai Roro Kidul yang telah melindungi keraton Jogja ataukah memang terjadi suatu wabah penyakit mematikan belum bisa dipastikan. Namun terlepas dari perdebatan itu dapat direnungkan bagaimana penderitaan masyarakat waktu itu. Juga tekanan ketakutan akan kematian yang telah merenggut saudara-saudara mereka. Dan menurutnya, merekalah orang-orang yang beruntung lolos dari tragedi Gegebluk yang banyak menimbulkan kematian.


Muhammad Mustain
Cegokan, 15 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tan Malaka Sebagai Pahlawan Indonesia yang Terlupakan (Dalam Novel Tan)

Oleh Muhammad Mustain     Ringkasan Cerita TAN Sebuah Novel : (image by Google.com) Tan Malaka adalah putra asli desa Lum...