Sabtu, 17 Juni 2017

Pengandong Revolusi


Subuh pagi itu terasa amat dingin menusuk. Embun bertetesan seperti gerimis. Tetapi tanahnya masih memerah dengan bebatuan kecil-kecil tertata rapi  menjadi jalan setapak di gubuk anyaman bambu khas rumah penduduk tradisional jawa, rumah gedeg. Seorang petua renta berjalan menggunakan tongkatnya lambat namun pasti. Menuju tempat yang sangat akrab menyapanya dan mensucikannya setiap lima kali waktu keramat. Tubuhnya kurus berjalan tanpa menggunakan pakaian pembalut dari dingin udara pagi itu. Beliau tak merasakan yang banyak dikeluhkan. Padasan yang terbuat dari tanah merah memancar air suci. Mbah Yasir, kakek itu dengan gerakan lambat membasuh tangan, muka, ubun-ubun, telinga serta kaki kurusnya. Setelah berpakaian sempurna beliau menghadap Tuhannya dengan penuh kepasrahan. Beliau tau. Waktu tak akan berlama-lama lagi.
Usia Mbah Yasir memang telah dianggap sangat cukup untuk mengerti dan memahami makna kehidupan secara utuh. 111 tahun beliau menapaki kelam, pedih serta bahagianya kehidupan. Dari zaman kompeni meluluh lantahkan kota istimewa kerajaan, geger pembasmian paham-paham komunis, kediktatoran yang dianggap kemajuan para penduduk desa yang tak tau akan politik karena mulu-mulut pengkritik akan dilenyapkan, dan hingga revolusi mental yang kini sedang diterapkan. Dan selalu beliau terkekeh tertawa dengan suara khas petua, setiap kali  mendengarkan suara samar-samar dan juga gambar berkabut di tv hitam putih jadul yang terletak disalah satu sudut tempat beliau tidur. “ Zaman kok seprono-seprene sama saja.” Dan seketika itu Mbah Yasir tertawa menampakkan gigi yang tinggal satu di sisi kanan. Ketika siang Mbah Yasir hanya menghabiskan waktu penantian abadinya di depan rumah itu duduk di lincak bambu petung dengan menyeruput teh serta menyebul cerutu kretek kemudian menembang. Rengeng-rengeng suara itu terdengar hampir setiap siang memecah panas terik kemarau.
Siang itu putunya, Simus, membawakan secangkir teh hangat. Simus adalah anak kedua dari Tejo, anak terakhir Mbah Yasir. Keluarga Tejo adalah yang mengurusi Mbah Yasir semenjak pembagian warisan akan tanah-tanah terhadap keenam anaknya.
Niki Mbah monggo diminum.”
Matur nuwun.” Mbah Yasir menyruput teh itu dengan penuh makna ketenangan batin. Seperti tak ada beban beliau menjalani kehidupan panjangnya. Simus kemudian duduk di sisi kakeknya itu.
“ Simbah tidak melihat tv saja?”
“ Bosen Le, isinya hanya permainan politik, kemarukan para penguasa dan juga penindasan kaum melarat.” Dengan menyebulkan asap pekat cerutunya Mbah Yasir mulai bercerita pengalaman-pengalaman kelam hidupnya. Dan selalu saja, beliau selalu tertawa terkekeh.
Dua puluh tahun yang lalu, Mbah Yasir bekerja sebagai penggembala kuda-kudanya di hamparan padang rumput bukit Joho. Beliau ikat kuda-kudanya kemudian beliau akan bekerja sampingannya, yaitu sebagai pengandong. Mbah Yasir ngandong di pasar. Menawarkan jasa transport tradisionalnya. Dengan usianya yang renta Mbah Yasir masih sanggup membagi waktu dengan baik. Tak lupa beliau selalu mampir di masjid ngadep Yang Kuasa. Dengan keramahannya beliau menyambut para penumpang. Ketukan kaki-kaki kuda itu selalu pula teriring tembang uyon-uyon khas jawa.
“ Mau kemana, Buk?”
“ Dengan sedikit cepat tolong antarkan saya ke Kedaton, Pak.” Mbah Yasir menebak logat bicara penumpangnya itu adalah asli Kota Jakarta.
“ Ngomong-ngomong Ibuk ini dari Jakarta, to?” Mbah Yasir selalu saja mengajak bicara penumpangnya dengan keramahan. Tak heran banyak pelanggan yang menggunakan jasa andongnya.
“ Tau saja Bapak ini. Iya pak saya dari Jakarta. Sebulan yang lalu saya pindahan. Tak nyaman sekarang hidup di ibu kota. Ditambah krisis ekonomi sekarang.”
“ Krisis ekonomi itu apa ya Buk kalo boleh saya tahu, maklum orang kampung gak ngerti.” Dengan keluguanya Mbah Yasir menanyakan itu. Maklum saja beliau memang tak tau menau apa yang menjadi masalah kota.
“ Lhoh memangnya Bapak tak merasakan? Negara kita sekarang ini Pak, sedang kacau. Harga pangan melonjak tinggi. Pengangguran dimana-mana.”
“ Setahu saya niku memang harga pangan akhir-akhir ini naik, tetapi saya mengetahuinya karena memang musim sekarang tidak menentu. Sehingga mungkin panennya tidak maksimal.”
“ Korupsi dimana-mana hampir di setiap birokrasi. Kebobrokan watak penguasa. Kerakusan para pemegang amanah. Dan kediktatoran presiden kita.” Dengan nada meninggi perempuan paruh baya itu mengungkapkan kegetiran negrinya kepada Mbah Yasir.
“ Kami di sini mengetahuinya bahwa presiden kita adalah Bapak Pembangunan. Dan membuat ketenangan dan ketentraman. Masyarakat juga merasakan itu.”
“ Itu karena banyak para pengkritik pemerintah yang dibungkam. Berita-berita direkayasa untuk mengagungkan penguasa. Seakan-akan kemakmuran menjadi kedok mereka meraih simpati rakyat. Hutang-hutang mereka gali untuk sedikit diberikan kepada rakyatnya sebagai pemanis. Brangkas-brangkas bank ternama milik mereka menyimpan harta rakyat. Makanya kita merasakan sedikit ketentraman. Tapi tak semuanya seperti ini Pak. Di desa lain banyak tanah-tanah yang dirampok penguasa. Di buat untuk mendirikan gedung, tempat rekreasi serta perumahan-perumahan kaum elit.” Ibu itu merapikan barang bawaanya. Sudah hampir sampai di rumahnya.
“ Rumah saya yang itu pak. Sebelah kanan rumah warna hijau yang depannya ada pohon sawo.”
“ O nggih Buk, ngomong-ngomong Ibu namanya siapa?”
“ Saya Ibu Fatma. Mari mampir dulu Pak. Saya buatkan teh hangat sembari melanjutkan obrolan kita. Lagian hari sudah siang. Orang-orang pasar sudah pada pulang. Kasian kuda bapak perlu rehat sejenak.”
Mbah Yasir mengiyakan tawaran ibu Fatma. Beliau mengeluarkan rumput bekalnya untuk kuda dan juga mengambil air di sumur kemudian di campur dengan katul.
“ Silakan duduk Pak, sebentar saya buatkan teh hangat.” Mbah Yasir dengan pelan meletakkan tubuhnya di kursi teras rumah itu. Keteduhan pohon sawo dan juga keramahan Ibu Fatma membuatnya beliau nyaman di rumahnya.
“ Silakan diminum Pak.” Ibu Fatma memberikan teh hangat beserta pelengkapnya pisang goreng.
“ Bapak ini rumahnya mana?”
“ Saya dari desa Jawon. Mungkin dua kilo dari sini.” Mbah Yasir melepas blangkonnya sehingga menampakkan rambut yang memutih namun masih lebat. Dari percakapan yang belum selesai sewaktu di perjalanan, Mbah Yasir semakin penasaran terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di kota yang dilakukan oleh penguasa orde baru itu.
“ Ibu kenapa memilih tinggal di Jogja?”
“ Seperti apa yang Bapak rasakan saat ini, menurut saya dengan tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, serta membaur dengan masyarakat yang masih kental akan gotong royong sedikit memberikat kenyamanan batin. Tak seperti di Jakarta yang sekarang manusia-manusianya individualis. Permainan politik dan juga kecemasan-kecemasan nasip ekonomi sedikit tak terasakan. Hanya saja memang kediktatoran harus di hilangkan. Pemuda-pemuda kita semakin sadar akan kedok-kedok pembangunan mereka yang mengatasnamakan kesejahteraan yang nyatanya  mencekik para rakyat melarat. Kesenjangan semakin melebar.” Ibu Fatma menyeruput teh manisnya dan melanjutkan apa yang dia diketahui dari kebiadaban penguasa. Karena memang ketika dia masih di Jakarta ia pernah bekerja disalah satu instansi birokrasi pemerintah kota namun ia memilih mengundurkan diri karena masih memiliki jiwa idealis dan kejujuran yang sangat ia jaga. Penyelewengan-penyelewengan banyak yang terjadi di instansi itu. Sedangkan Mbah Yasir hanya sesekali mengangguk.
“ Sekarang pemuda-pemuda terpelajar kita telah bersama-sama akan mencoba sekuat tenaganya membenahi kebrobrokan ini. Krisis semakin menjadi-jadi. Para pemuda akan menuntut pembebasan aktivis-aktivis. Kesejahteraan harus disama ratakan. Ekonomi harus dinormalkan. Rampok-rampok harus dihabisi. Maling-maling tak perlu lagi dikasih peluang untuk hidup. Birokrasi tak boleh lagi berkolaborasi dengan tikus. Sedangkan kucing harus melancipkan cakarnya, taringnya dan tajam matanya untuk mendelik praktik-praktik KKN. Jangan biarkan pula kucing itu malah asik bekerjasama dengan tikus.” Muka Ibu Fatma sedikit menegang melihat kebobrokan negaranya itu.
“ Saya tak habis pikir. Pemimpin yang sangat diagung-agungkan rakyat simpatisannya ternyata penuh permainan.” Mbah Yasir memakai kembali blangkon lusuh itu.
Tak terasa satu jam lebih kedua paruh baya itu bercengkrama. Daun-daun sawo berlarian terbawa hembusan angin kemarau. Mbah Yasir teringat kuda-kudanya di bukit Joho yang dia tinggalkannya. Sudah waktunya beliau kembali untuk memulangkan kuda-kuda itu.
“ Saya meninggalkan kuda-kuda di bukit untuk merumput. Saya mohon undur diri, Buk. Terima kasih telah berbagi tahu tentang kedzoliman penguasa. Dan terima kasih juga untuk teh dan pisang gorengnya. Terima kasih.” Ibu Fatma memberikan senyumnya kepada kusir tua itu yang berjalan meninggalkan rumahnya. Andongnya sangat gesit melaju meninggalkan rumah Ibu Fatma. Senja kala menampakkan elok sore hari. Cahaya telah menyilau di barat. Seakan menghapuskan sejenak kegetiran keadaan yang sebenarnya terjadi. Krisis telah memuncak akibat ulah tangan-tangan kotor. Permainan licik pejabat yang bermain mata dengan segala instansi.
Mbah Yasir yang renta itu menjemput kuda-kudanya. Mengajaknya pulang ke kandang-kandang mereka. Dengan hanya membawa kuda betinanya, kuda-kuda keturunan mengekor di belakangnya. Dengan usia yang tidak lagi muda Mbah Yasir mampu memelihara enam kudanya yang di bantu Tejo. Istrinya telah meninggal empat tahun yang lalu terkena penyakit entah apa. Yang banyak memberikan trauma tersendiri bagi masyarakat desa itu. Yang mereka sebut zaman gegeblug. Penyakit mematikan yang banyak memakan korban meninggal. Paginya terkena wabah itu sorenya akan meninggal. Termasuk salah satu dari korban itu adalah istrinya, Saikem. Wanita keturunan kerajaan Kedaton yang mewarisi kuda-kuda periharaannya. Yang bukan keturunan darah biru, dan mau menemani hidup sederhananya. Memang Yasir muda ketika ayahnya telah meninggal, yang merupakan anak tertua banyak memperoleh warisan tanah berhektar-hektar. Secara skala hampir seluruh desa Jawon adalah tanahnya. Namun karena ketamakan adiknya yang seorang pejabat desa banyak menjual tanah-tanahnya untuk memenuhi hasrat kepuasan dunia. Tanah-tanah itu yang semula adalah tanah penghasil bahan pangan seperti beras, singkong dan jagung kini telah berubah menjadi perumahan. Adiknya tak berfikir bahwa dia makanan pokoknya adalah hasil dari tanah-tanah itu. Hasil dari penjualan tanah kakaknya itu dia habiskan untuk menyuap pejabat desa untuk menerimanya masuk menempati jabatan pegawai desa yang secara pendidikan adiknya hanya setara sekolah dasar. Politik uang memang telah menguasai hampir disemua instansi. Cara-cara instan banyak yang dihalalkan, termasuk menyuap untuk bisa bekerja sepagai pegawai negeri. Karena begitu menggiurkannya gaji, rumah dinas, dan juga pensiunan. Mereka beranggapan menjadi pegawai negeri yang pekerjaannya tidak banyak mengeluarkan tenaga akan mendapatkan fasilitas-fasilitas itu. Masa depannya akan tercerahkan tanpa memikirkan cara-cara mereka. Gaji mereka serta fasilitas-fasilitas mereka adalah hasil sumbangan pajak kaum melarat. Tetapi Mbah Yasir masih dengan kesehajaannya memelihara kuda-kuda serta mengandong dengan penuh arti keselarasan batin.
Sore itu Mbah Yasir di dalam gubug gedeg reotnya duduk di kursi tua kayu jati, menghadap televisi hitam putihnya yang waktu itu hanya ada satu  channel yaitu televisi nasional TVRI. Gambar tv itu hanya buram tidak jelas. Namun suaranya jelas menyuarakan tokoh yang tidak asing waktu itu, orang yang sangat dipuja kepemimpinanya yang katanya sebagai bapak pembangunan nasional. Terdengar sayup suara presiden yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
“ Gegeden empyak kurang cagak. Empyak olehmu nyilih tonggo embuh kapan anggonmu balekne.” Itulah kata Mbah Yasir setelah mendengar peryataan itu. Mbah Yasir semakin paham juga bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemimpinnya itu sangat kental akan kerakusan kekuasaan. Jeritan-jeritan rakyat kecil yang tercekik oleh penguasa sekarang muncak yang mengakibatkan demonstrasi besar-besaran menuntut penguasa dan antek-anteknya mundur. Perubahan-perubahan perlu dilakukan. Mereka harus menyadari makanan mereka berasal dari tanah-tanah rakyat. Air yang selama ini mereka minum adalah hasil perasan keringat rakyat. Santapan ikan yang penuh protein adalah hasil tangakapan nelayan. Pemimpin bukan lagi menyoal akan haus kekuasan yang banyak menumbuhkan kaum konglomerat tetapi mengikis habis kaum melarat. Para tikus dan kucing bermain mata secara mesra. Dan sekarang telah memuncak. Tugas para pembenah bangsa ada di tangan para pemuda. Biarkan sejarah kelam ini terus menjadikan batu pinjakan untuk membangun bangsa dan tatanan negara sesuai apa yang dicita-citakan para pendiri negeri.
***
Siang yang begitu terik. Cahayanya menembus celah-celah daun pohon nangka samping rumah Mbah Yasir. Kesejukkan sangat terasa karena banyak oksigen yang keluar dari pohon bambu belakang rumah. Simus hanya termangu dengan tangan menyangga dagunya mendengarkan cerita dari Simbahnya itu. Dimana zaman yang diceritakan oleh Simbahnya adalah ketika ia masih dua tahun. Zaman yang menjadi puncak rezim orde baru berkuasa. Masa dimana revolusi akan digalakkan. Kekuasaan harus dibatasi. Penyimpangan-penyimpangan terhadapat undang-undang dan pancasila harus diluruskan. Pers harus bebas namun patuh terhadap kode etik. Mengkritik penguasa harus bebas. Tetapi, kini, setelah tujuh belas tahun lebih revormasi, nampaknya semua itu masih sulit dibenamkan dari sendi-sendi korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang, tikus main mata dengan kucing, hukum masih tumpul ke atas namun tajam kebawah. Kesenjangan sosial sulit dihilangkan. Pengangguran dimana-mana. Nawacita presiden Sukarno masih jauh. Entah sampai pada rezim siapa.

Terinspirasi dari puisinya Gus Mus, “Negeriku”


Oleh : Muhammad Mustain





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tan Malaka Sebagai Pahlawan Indonesia yang Terlupakan (Dalam Novel Tan)

Oleh Muhammad Mustain     Ringkasan Cerita TAN Sebuah Novel : (image by Google.com) Tan Malaka adalah putra asli desa Lum...