Subuh
pagi itu terasa amat dingin menusuk. Embun bertetesan seperti gerimis. Tetapi
tanahnya masih memerah dengan bebatuan kecil-kecil tertata rapi menjadi jalan setapak di gubuk anyaman bambu
khas rumah penduduk tradisional jawa, rumah gedeg.
Seorang petua renta berjalan menggunakan tongkatnya lambat namun pasti. Menuju
tempat yang sangat akrab menyapanya dan mensucikannya setiap lima kali waktu
keramat. Tubuhnya kurus berjalan tanpa menggunakan pakaian pembalut dari dingin
udara pagi itu. Beliau tak merasakan yang banyak dikeluhkan. Padasan yang
terbuat dari tanah merah memancar air suci. Mbah Yasir, kakek itu dengan
gerakan lambat membasuh tangan, muka, ubun-ubun, telinga serta kaki kurusnya.
Setelah berpakaian sempurna beliau menghadap Tuhannya dengan penuh kepasrahan.
Beliau tau. Waktu tak akan berlama-lama lagi.
Usia
Mbah Yasir memang telah dianggap sangat cukup untuk mengerti dan memahami makna
kehidupan secara utuh. 111 tahun beliau menapaki kelam, pedih serta bahagianya
kehidupan. Dari zaman kompeni meluluh lantahkan kota istimewa kerajaan, geger pembasmian paham-paham komunis,
kediktatoran yang dianggap kemajuan para penduduk desa yang tak tau akan politik
karena mulu-mulut pengkritik akan dilenyapkan, dan hingga revolusi mental yang
kini sedang diterapkan. Dan selalu beliau terkekeh tertawa dengan suara khas
petua, setiap kali mendengarkan suara
samar-samar dan juga gambar berkabut di tv hitam putih jadul yang terletak
disalah satu sudut tempat beliau tidur. “ Zaman kok seprono-seprene sama saja.” Dan seketika itu Mbah Yasir tertawa
menampakkan gigi yang tinggal satu di sisi kanan. Ketika siang Mbah Yasir hanya
menghabiskan waktu penantian abadinya di depan rumah itu duduk di lincak bambu
petung dengan menyeruput teh serta menyebul cerutu kretek kemudian menembang.
Rengeng-rengeng suara itu terdengar hampir setiap siang memecah panas terik
kemarau.
Siang
itu putunya, Simus, membawakan secangkir teh hangat. Simus adalah anak kedua
dari Tejo, anak terakhir Mbah Yasir. Keluarga Tejo adalah yang mengurusi Mbah
Yasir semenjak pembagian warisan akan tanah-tanah terhadap keenam anaknya.
“
Niki Mbah monggo diminum.”
“
Matur nuwun.” Mbah Yasir menyruput
teh itu dengan penuh makna ketenangan batin. Seperti tak ada beban beliau
menjalani kehidupan panjangnya. Simus kemudian duduk di sisi kakeknya itu.
“
Simbah tidak melihat tv saja?”
“
Bosen Le, isinya hanya permainan
politik, kemarukan para penguasa dan juga penindasan kaum melarat.” Dengan
menyebulkan asap pekat cerutunya Mbah Yasir mulai bercerita
pengalaman-pengalaman kelam hidupnya. Dan selalu saja, beliau selalu tertawa
terkekeh.
Dua
puluh tahun yang lalu, Mbah Yasir bekerja sebagai penggembala kuda-kudanya di
hamparan padang rumput bukit Joho. Beliau ikat kuda-kudanya kemudian beliau
akan bekerja sampingannya, yaitu sebagai pengandong. Mbah Yasir ngandong di pasar. Menawarkan jasa
transport tradisionalnya. Dengan usianya yang renta Mbah Yasir masih sanggup
membagi waktu dengan baik. Tak lupa beliau selalu mampir di masjid ngadep Yang Kuasa. Dengan keramahannya
beliau menyambut para penumpang. Ketukan kaki-kaki kuda itu selalu pula
teriring tembang uyon-uyon khas jawa.
“
Mau kemana, Buk?”
“
Dengan sedikit cepat tolong antarkan saya ke Kedaton, Pak.” Mbah Yasir menebak
logat bicara penumpangnya itu adalah asli Kota Jakarta.
“
Ngomong-ngomong Ibuk ini dari Jakarta, to?”
Mbah Yasir selalu saja mengajak bicara penumpangnya dengan keramahan. Tak heran
banyak pelanggan yang menggunakan jasa andongnya.
“
Tau saja Bapak ini. Iya pak saya dari Jakarta. Sebulan yang lalu saya pindahan.
Tak nyaman sekarang hidup di ibu kota. Ditambah krisis ekonomi sekarang.”
“
Krisis ekonomi itu apa ya Buk kalo boleh saya tahu, maklum orang kampung gak
ngerti.” Dengan keluguanya Mbah Yasir menanyakan itu. Maklum saja beliau memang
tak tau menau apa yang menjadi masalah kota.
“
Lhoh memangnya Bapak tak merasakan? Negara kita sekarang ini Pak, sedang kacau.
Harga pangan melonjak tinggi. Pengangguran dimana-mana.”
“
Setahu saya niku memang harga pangan akhir-akhir ini naik, tetapi saya
mengetahuinya karena memang musim sekarang tidak menentu. Sehingga mungkin
panennya tidak maksimal.”
“
Korupsi dimana-mana hampir di setiap birokrasi. Kebobrokan watak penguasa.
Kerakusan para pemegang amanah. Dan kediktatoran presiden kita.” Dengan nada
meninggi perempuan paruh baya itu mengungkapkan kegetiran negrinya kepada Mbah
Yasir.
“
Kami di sini mengetahuinya bahwa presiden kita adalah Bapak Pembangunan. Dan
membuat ketenangan dan ketentraman. Masyarakat juga merasakan itu.”
“
Itu karena banyak para pengkritik pemerintah yang dibungkam. Berita-berita
direkayasa untuk mengagungkan penguasa. Seakan-akan kemakmuran menjadi kedok
mereka meraih simpati rakyat. Hutang-hutang mereka gali untuk sedikit diberikan
kepada rakyatnya sebagai pemanis. Brangkas-brangkas bank ternama milik mereka
menyimpan harta rakyat. Makanya kita merasakan sedikit ketentraman. Tapi tak
semuanya seperti ini Pak. Di desa lain banyak tanah-tanah yang dirampok
penguasa. Di buat untuk mendirikan gedung, tempat rekreasi serta
perumahan-perumahan kaum elit.” Ibu itu merapikan barang bawaanya. Sudah hampir
sampai di rumahnya.
“
Rumah saya yang itu pak. Sebelah kanan rumah warna hijau yang depannya ada
pohon sawo.”
“
O nggih Buk, ngomong-ngomong Ibu
namanya siapa?”
“
Saya Ibu Fatma. Mari mampir dulu Pak. Saya buatkan teh hangat sembari
melanjutkan obrolan kita. Lagian hari sudah siang. Orang-orang pasar sudah pada
pulang. Kasian kuda bapak perlu rehat sejenak.”
Mbah
Yasir mengiyakan tawaran ibu Fatma. Beliau mengeluarkan rumput bekalnya untuk
kuda dan juga mengambil air di sumur kemudian di campur dengan katul.
“
Silakan duduk Pak, sebentar saya buatkan teh hangat.” Mbah Yasir dengan pelan
meletakkan tubuhnya di kursi teras rumah itu. Keteduhan pohon sawo dan juga
keramahan Ibu Fatma membuatnya beliau nyaman di rumahnya.
“
Silakan diminum Pak.” Ibu Fatma memberikan teh hangat beserta pelengkapnya
pisang goreng.
“
Bapak ini rumahnya mana?”
“
Saya dari desa Jawon. Mungkin dua kilo dari sini.” Mbah Yasir melepas
blangkonnya sehingga menampakkan rambut yang memutih namun masih lebat. Dari
percakapan yang belum selesai sewaktu di perjalanan, Mbah Yasir semakin
penasaran terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di kota yang dilakukan oleh
penguasa orde baru itu.
“
Ibu kenapa memilih tinggal di Jogja?”
“
Seperti apa yang Bapak rasakan saat ini, menurut saya dengan tinggal di desa
yang jauh dari hiruk pikuk kota, serta membaur dengan masyarakat yang masih
kental akan gotong royong sedikit memberikat kenyamanan batin. Tak seperti di
Jakarta yang sekarang manusia-manusianya individualis. Permainan politik dan
juga kecemasan-kecemasan nasip ekonomi sedikit tak terasakan. Hanya saja memang
kediktatoran harus di hilangkan. Pemuda-pemuda kita semakin sadar akan
kedok-kedok pembangunan mereka yang mengatasnamakan kesejahteraan yang
nyatanya mencekik para rakyat melarat.
Kesenjangan semakin melebar.” Ibu Fatma menyeruput teh manisnya dan melanjutkan
apa yang dia diketahui dari kebiadaban penguasa. Karena memang ketika dia masih
di Jakarta ia pernah bekerja disalah satu instansi birokrasi pemerintah kota
namun ia memilih mengundurkan diri karena masih memiliki jiwa idealis dan
kejujuran yang sangat ia jaga. Penyelewengan-penyelewengan banyak yang terjadi
di instansi itu. Sedangkan Mbah Yasir hanya sesekali mengangguk.
“
Sekarang pemuda-pemuda terpelajar kita telah bersama-sama akan mencoba sekuat
tenaganya membenahi kebrobrokan ini. Krisis semakin menjadi-jadi. Para pemuda
akan menuntut pembebasan aktivis-aktivis. Kesejahteraan harus disama ratakan.
Ekonomi harus dinormalkan. Rampok-rampok harus dihabisi. Maling-maling tak
perlu lagi dikasih peluang untuk hidup. Birokrasi tak boleh lagi berkolaborasi
dengan tikus. Sedangkan kucing harus melancipkan cakarnya, taringnya dan tajam
matanya untuk mendelik praktik-praktik KKN. Jangan biarkan pula kucing itu
malah asik bekerjasama dengan tikus.” Muka Ibu Fatma sedikit menegang melihat
kebobrokan negaranya itu.
“
Saya tak habis pikir. Pemimpin yang sangat diagung-agungkan rakyat
simpatisannya ternyata penuh permainan.” Mbah Yasir memakai kembali blangkon
lusuh itu.
Tak
terasa satu jam lebih kedua paruh baya itu bercengkrama. Daun-daun sawo
berlarian terbawa hembusan angin kemarau. Mbah Yasir teringat kuda-kudanya di
bukit Joho yang dia tinggalkannya. Sudah waktunya beliau kembali untuk
memulangkan kuda-kuda itu.
“
Saya meninggalkan kuda-kuda di bukit untuk merumput. Saya mohon undur diri,
Buk. Terima kasih telah berbagi tahu tentang kedzoliman penguasa. Dan terima
kasih juga untuk teh dan pisang gorengnya. Terima kasih.” Ibu Fatma memberikan
senyumnya kepada kusir tua itu yang berjalan meninggalkan rumahnya. Andongnya
sangat gesit melaju meninggalkan rumah Ibu Fatma. Senja kala menampakkan elok
sore hari. Cahaya telah menyilau di barat. Seakan menghapuskan sejenak
kegetiran keadaan yang sebenarnya terjadi. Krisis telah memuncak akibat ulah
tangan-tangan kotor. Permainan licik pejabat yang bermain mata dengan segala
instansi.
Mbah
Yasir yang renta itu menjemput kuda-kudanya. Mengajaknya pulang ke
kandang-kandang mereka. Dengan hanya membawa kuda betinanya, kuda-kuda
keturunan mengekor di belakangnya. Dengan usia yang tidak lagi muda Mbah Yasir
mampu memelihara enam kudanya yang di bantu Tejo. Istrinya telah meninggal
empat tahun yang lalu terkena penyakit entah apa. Yang banyak memberikan trauma
tersendiri bagi masyarakat desa itu. Yang mereka sebut zaman gegeblug. Penyakit mematikan yang banyak
memakan korban meninggal. Paginya terkena wabah itu sorenya akan meninggal.
Termasuk salah satu dari korban itu adalah istrinya, Saikem. Wanita keturunan
kerajaan Kedaton yang mewarisi kuda-kuda periharaannya. Yang bukan keturunan
darah biru, dan mau menemani hidup sederhananya. Memang Yasir muda ketika
ayahnya telah meninggal, yang merupakan anak tertua banyak memperoleh warisan
tanah berhektar-hektar. Secara skala hampir seluruh desa Jawon adalah tanahnya.
Namun karena ketamakan adiknya yang seorang pejabat desa banyak menjual
tanah-tanahnya untuk memenuhi hasrat kepuasan dunia. Tanah-tanah itu yang
semula adalah tanah penghasil bahan pangan seperti beras, singkong dan jagung
kini telah berubah menjadi perumahan. Adiknya tak berfikir bahwa dia makanan
pokoknya adalah hasil dari tanah-tanah itu. Hasil dari penjualan tanah kakaknya
itu dia habiskan untuk menyuap pejabat desa untuk menerimanya masuk menempati
jabatan pegawai desa yang secara pendidikan adiknya hanya setara sekolah dasar.
Politik uang memang telah menguasai hampir disemua instansi. Cara-cara instan
banyak yang dihalalkan, termasuk menyuap untuk bisa bekerja sepagai pegawai
negeri. Karena begitu menggiurkannya gaji, rumah dinas, dan juga pensiunan.
Mereka beranggapan menjadi pegawai negeri yang pekerjaannya tidak banyak
mengeluarkan tenaga akan mendapatkan fasilitas-fasilitas itu. Masa depannya
akan tercerahkan tanpa memikirkan cara-cara mereka. Gaji mereka serta
fasilitas-fasilitas mereka adalah hasil sumbangan pajak kaum melarat. Tetapi
Mbah Yasir masih dengan kesehajaannya memelihara kuda-kuda serta mengandong
dengan penuh arti keselarasan batin.
Sore
itu Mbah Yasir di dalam gubug gedeg
reotnya duduk di kursi tua kayu jati, menghadap televisi hitam putihnya yang
waktu itu hanya ada satu channel yaitu
televisi nasional TVRI. Gambar tv itu hanya buram tidak jelas. Namun suaranya
jelas menyuarakan tokoh yang tidak asing waktu itu, orang yang sangat dipuja
kepemimpinanya yang katanya sebagai bapak pembangunan nasional. Terdengar sayup
suara presiden yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
“
Gegeden empyak kurang cagak. Empyak olehmu nyilih tonggo embuh kapan anggonmu
balekne.” Itulah kata Mbah Yasir setelah mendengar peryataan itu. Mbah Yasir
semakin paham juga bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemimpinnya itu
sangat kental akan kerakusan kekuasaan. Jeritan-jeritan rakyat kecil yang
tercekik oleh penguasa sekarang muncak yang mengakibatkan demonstrasi
besar-besaran menuntut penguasa dan antek-anteknya mundur. Perubahan-perubahan
perlu dilakukan. Mereka harus menyadari makanan mereka berasal dari tanah-tanah
rakyat. Air yang selama ini mereka minum adalah hasil perasan keringat rakyat.
Santapan ikan yang penuh protein adalah hasil tangakapan nelayan. Pemimpin
bukan lagi menyoal akan haus kekuasan yang banyak menumbuhkan kaum konglomerat
tetapi mengikis habis kaum melarat. Para tikus dan kucing bermain mata secara
mesra. Dan sekarang telah memuncak. Tugas para pembenah bangsa ada di tangan
para pemuda. Biarkan sejarah kelam ini terus menjadikan batu pinjakan untuk
membangun bangsa dan tatanan negara sesuai apa yang dicita-citakan para pendiri
negeri.
***
Siang
yang begitu terik. Cahayanya menembus celah-celah daun pohon nangka samping
rumah Mbah Yasir. Kesejukkan sangat terasa karena banyak oksigen yang keluar
dari pohon bambu belakang rumah. Simus hanya termangu dengan tangan menyangga
dagunya mendengarkan cerita dari Simbahnya itu. Dimana zaman yang diceritakan
oleh Simbahnya adalah ketika ia masih dua tahun. Zaman yang menjadi puncak
rezim orde baru berkuasa. Masa dimana revolusi akan digalakkan. Kekuasaan harus
dibatasi. Penyimpangan-penyimpangan terhadapat undang-undang dan pancasila
harus diluruskan. Pers harus bebas namun patuh terhadap kode etik. Mengkritik
penguasa harus bebas. Tetapi, kini, setelah tujuh belas tahun lebih revormasi,
nampaknya semua itu masih sulit dibenamkan dari sendi-sendi korupsi, kolusi,
nepotisme, politik uang, tikus main mata dengan kucing, hukum masih tumpul ke
atas namun tajam kebawah. Kesenjangan sosial sulit dihilangkan. Pengangguran
dimana-mana. Nawacita presiden Sukarno masih jauh. Entah sampai pada rezim
siapa.
Terinspirasi
dari puisinya Gus Mus, “Negeriku”
Oleh : Muhammad Mustain
Oleh : Muhammad Mustain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar