Selasa, 20 Juni 2017

Tan Malaka Sebagai Pahlawan Indonesia yang Terlupakan (Dalam Novel Tan)



Oleh Muhammad Mustain
 
 Ringkasan Cerita TAN Sebuah Novel :

Image result for tan sebuah novel
(image by Google.com)
Tan Malaka adalah putra asli desa Lumuik Suliki, Bukittinggi, Sumatra Barat yang memiliki nama panjang Sutan Ibrahim Tan Malaka. Dia mendapatkan gelar Datuk Tan Malaka dari kakeknya setelah meninggal dunia. Ketika itu usianya baru 16 tahun. Sebagai kepada datuk pamucuk, Tan Malaka mendampingi sembilan datuk pamucuk lainnya
Ketika itu sebagai keturunan bangsaawan, Tan Malaka mendapatkan sekolah guru di Kweekschool Bukittinggi. Dia memiliki seorang guru yang sangat peduli dan simpati terhadap penduduk pribumi Hindia. Dia adalah Gerardus Hendrikus Horensma. Kepala sekolah Kweekschool Bukittinggi berasal dari negeri Nederland yang memberikan saran kepada Tan Malaka untuk pergi ke Haarlem, Nederland, guna belajar di Rijkweekschool untuk mendapatkan ijazah hoofdacte atau sarjana kepala sekolah.  Nederland banyak memberikan sarana pendidikan kepada rakyat pribumi guna melaksanakan politik etis atau politik balas budi gagasan para pengusaha onderneming yang disetujui Ratu Nederland.
Tan Malaka sangat tertarik dengan tawaran kepala sekolahnya itu. Ilmunya sangat dibutuhkan guna merubah pola pikir rakyat Hindia untuk mengakhiri penjajahan, penindasan dan penyiksaan kaum kapitalis kolonial. Maka Tan Malaka mendiskusikannya kepada datuk pamucuk lainnya. Namun alih-alih mendapatkan dukungan, malahan Tan Malaka sangat dikutuk apabila dia menginjakkan kakinya atau bahkan mengais ilmu di negeri yang selama puluhan tahun menindas tanah kelahirannya. Namun Tan Malaka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan resiko dia bakalan diacuhkan penduduk desanya sendiri atau bahkan melepaskan gelar Datuk Tan Malaka. Dan setelah berdiskusi dengan kedua orang tuannya, maka Tan Malaka memutuskan untuk menerima tawaran Horensma.
Tan Malaka sampai di Nederland terlambat satu bulan dengan jadwal penerimaan siswa baru. Namun Van der Ley, direktur sekolah Rijkweekschool, berhasil diyakinkan Horensma untuk menerima Tan Malaka belajar di sekolah itu.
Di Rijkweekschool, Tan Malaka belajar membaca dan menulis untuk mencurahkan ide-ide gagasan pikirannya dalam tulisan yang dia kirimkan ke surat kabar. Kebanyakan dia menuliskan penindasan-penindasan yang dilakukan penjajah Belanda terhadap kaum pribumi Hindia. Hingga dia banyak dikenal dengan nama Tan Malaka daripada nama aslinya, Ibrahim. Tan Malaka banyak mendapatkan informasi kebiadaban penjajah akibat tanam paksa dan kerja rodi dari tulisan-tulisan yang ia dapatkan di perpustakaan tempat ia belajar yang ditulis tokoh-tokoh Nederland. Penderitaan para pekerja rodi yang diharuskan bekerja sepanjang hari tanpa mendapatkan gaji yang layak. Perlakuan kesewenang-wenangan penjajah, hingga akhirnya banyak pekerja rodi yang mati kelaparan.
 Suatu ketika Tan kembali ke Hindia ingin membuktikan kebiadaban penjajah itu di suatu perbukitan yang akan dijadikan sebagai pusat pasar. Meratakan suatu bukit yang dilakukan secara manual. Penderitaan-penderitaan itu ditulis oleh Tan Malaka guna memenuhi tugas yang diberikan oleh gurunya, Engku Guru Nawawi. Tak ayal, Engku Guru itu meradang lantaran tulisan Tan Malaka yang mengkritik Nederland. Tulisannya dianggap berbahaya dan dapat memicu ketegangan antara pelajar Nederland dengan pelajar Hindia. Tulisan tersebut dianggap sebagai tulisan yang tak tahu rasa terima kasih setelah apa yang dikasihkan Nederland untuk rakyat Hindia melalui politik etis yang mana menjadikan kesetaraan dalam belajar antara Nederland dengan Hindia.
Tan Malaka menempati sebuah kos. Dalam kos tersebutlah Tan Malaka mengenal gadis yang membuatnya jatuh hati untuk pertama kalinya. Gadis Nederland tulen itu bernama Fenny van de Sneijder. Di dalam kos-kosan elit itu juga Tan berteman dengan Hendrik van Wijnpark, kekasih Fenny. Tan Malaka dan Hendrik berteman akrab. Namun keakrabannya itu mengharuskan ia diamanahi sebuah pesan untuk Fenny ketika Hendrik hendak bergabung dengan kepolisian Nederland. Keakrabannya dengan Hendrik membuatnya dekat dengan Fenny. Cinta segitiga pun terjalin di antara mereka. Kedekatan antara Tan dan Fenny semakin memuncak ketika Tan Malaka menderita radang paru-paru akibat cuaca dingin yang belum terbiasa padanya. Fenny dengan ketulusan merawat Tan sampai sembuh. Dan suatu ketika Fenny mengungkapkan bahwa dia mencintai Tan. Namun Tan Malaka tidak mengiyakan cinta tersebut walapun dia sendiri mencintainy.
Perbekalan uang yang dimiliki Tan Malaka telah menipis. Dia meminjam uang di NIOS, lembaga yang khusus memberikan pinjaman uang untuk pelajar Hindia. Namun ketika dia mengajukan surat permohonan, Tan Malaka justru mendapatkan surat undangan langsung dari A.N.J. Fabius, salah seorang pembesar NIOS. Pembesar tersebut secara terang-terangan menolak permohonan Tan Malaka lantaran pemikirannya yang anti kapitalis banyak ditulisnya di berbagai surat kabar Nederland. Menurutnya pelajar seperti Tan Malaka adalah seorang tak tahu diri itu tidak perlu mendapatkan pertolongan keuangan. Masalah keuangannya diceritakan kepada Hendrik. Kebetulan ayah Hendrik sangat dekat dengan para petinggi NIOS. Berkat bantuan dari ayah Hendrik, Tan mendapatkan pinjaman uang dari NIOS.
Kendala keuangan juga yang mengharuskan Tan Malaka ingin pindah dari kos-kosan elite tersebut. Fenny mengajaknya pergi menemui pamannya yang kebetulan memiliki ruangan kosong walaupun tidak cukup luas. Dia adalah mantan buruh yang memiliki pemikiran sosialis, pemikiran yang mengatasnamakan rakyat dalam setiap pergerakan dan kebijakannya. Pemikiran yang diajarkan oleh filsuf bernama Karl Marx. Pamannya itu bernama Gerrit. Tan Malaka juga mengenal kaum sosialis lainnya, yaitu Herman Wouters. Gerrit dan Wouters sering mengajak Tan Malaka diskusi mengenai pemikiran-pemikiran kaum sosialis. Kaus sosialis amat sangat memusuhi kaum kapitalis yang banyak menindas kaum proletar. Tan Malaka yang berasal dari tanah jajahan tentu memiliki nasip yang sama dengan Wouters dan Gerrit yang pernah berprofesi sebagai buruh yang harus mengabdi kepada para borjuis. Wouter sendiri berasal dari Belgia yang pernah terinfasi Jerman. Pada waktu itu pula Tan Malaka banyak membaca buku karya filsuf-filsuf eropa, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht karya filsuf Jerman. Dari situ juga Tan Malaka mengenal istilah Leberte, Egalite, Fraternite. Di negeri kincir angin tersebut Tan Malaka juga pernah bertemu dengan tokoh-tokoh penggagas politik etis seperti wartawan yang menjadi sahabat R.A. Kartini, Van Kol dan juga salah satu jendral Nederland, Jendral Eric. Ketika sedang menyaksikan opera bersama Fenny Tan Malaka pernah berdiskusi dengan para penggagas politik etis tersebut yang menurutnya hanya memberikan kesetaraan belajar saja, pembangunan sekolah pemerintah seperti HIS, HBS, ELS, kweekschool, STOVIA, dan OSVIA tidaklah cukup untuk membayar setiap keringat, darah dan tenaga rakyat pribumi yang diperah Nederland. Menurut Tan tanpa kesetaraan berpolitik mustahil kesejahteraan rakyat Hindia membaik yang hanya mengandalkan politik etis. Menurutnya perlu pembentukan suatu dewan Hindia yang akan menyalurkan aspirasi rakyat langusng ke parlemen Nederland.
Di Nederland Tan Malaka bergabung dalam himpunan pelajar Hindia (PPHN) bersama dengan Kartadikara, Suwardi Suryaningrat dan juga Cipto Mangungkususmo yang merupakan para priyayi Jawa. Mereka gencar melancarkan ide-ide, menuliskan pikiran mereka tentang penindasan kaum borjuis di media surat kabar seperti Het Volk, De Locomotif dan De Telegraf. Menururt Cipto Mangunkusumo politik etis hanya akal-akalan pengusaha onderneming untuk mengusi kekosongan pegawai, karena sejak dijalankannya politik etis banyak perusahaan swasta yang berjalan dan tentunya sangat membutuhkan pekerja terampil.
Akibat tulisan-tulisannya di media massa, Tan Malaka malah mendapatkan diskriminasi karena pemikirnnya dianggap membahayakan pihak Nederland. Tan dipersulit dalam urusan belajarnya di Rijkweekschool. Uang pinjaman NIOS telah jatuh tempo, padahal kesepakatan awal hutang itu akan dilunasi tatkala telah mendapatkan ijazah guru kepala. Tan Malaka disarankan untuk kembali saja ke Hindia dan mengabdi dengan ilmu yang telah ia dapatkan untuk bangsanya. Urusan hutangnya terhadap NIOS, Tan Malaka mendapatkan bantuan dari sahabatnya, Sneevliet. Percintaannya dengan Fenny telah berhasil diketahui Hendrik. Persahabatan mereka rusak.
Setibanya di Hindia, Tan merasa sangat malu untuk kembali ke kampung halaman karena pasti sukunya tidak akan menerimannya lagi karena telah memutuskan meletakkan jabatan sebagai datuk pamucuk dan memilih pergi belajar ke negeri yang menjajah mereka. Tan tinggal di Medan dan mengajar di sekolah perkebunan tembakau Goed Bericht. Goed Bericht adalah salah satu perusahaan swasta yang modalnya berasal dari pengusaha Eropa, Amerika, Tiongkok dan sedikit dari pengusaha pribumi yang tentu saja hanya memiliki saham beberapa. Tak heran jika perkebunan itu sangat luas dan memiliki ribuan pekerja. Tan Malaka mendapat fasilitas mewah seperti rumah dinas, gaji besar dan lainnya. Tan juga memilki seorang pembantu bernama Togap.
Tan pernah memprovokasi para pekerja buruh perkebunan itu. Tan memberikan pemikirannya untuk melawan terhadap kesewenang-wenangan kaum kapitalis. Memberikan pemahaman bahwa kaum pribumi adalah yang berhak mengelola lahan perkebunan itu. Penindasan dan kekejaman penjajah harus segera diakhiri dengan melawan dan memberontak secara terorganisir. Pada suatu malam Tan Malaka dan beberapa pekerja perkebunan melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar perkebunan besar milik Goed Bericht. Kerugiannya yang dialami perusahaan sangat besar. Perusahaan itu menelusuri penyebab kebakaran dan berhasil mengetahuinya karena bantuan kepolisian dan agen intelijen Nederland, PID. Tan ditangkap karena dicurigai sebagai provokator. Namun berkat pertolongan para pekerja dan Togap, sebelum dibawa ke kantor polisi Tan di selamatkan.  Dia diberhentikan sebagai guru sekolah perkebunan itu. Setelah peristiwa itu, Tan memutuskan untuk kembali ke negeri Lumuik Suliki. Segala cemooh warga desa ia tepiskan lantaran ingin bertemu dengan orang tuannya. Setelah bertemu orang tuannya, Tan memutuskan untuk meminta izin merantau ke Jawa. Menghadiri kongres Sarekat Islam (SI). Menyalurkan ilmu-ilmu yang ia dapatkan di negeri Nederland. Termasuk gagasannya tentang konsep sosialis.
Setibanya di Batavia, Tan mendapat surat dari Sneevleat guna menemui Alimin, salah seorang tokoh SI. Sarekat Islam (SI) adalah organisasi terbesar di Hindia yang dipimpin oleh Semaun. Namun SI sempat terpecah dengan terbentuknya partai beraliran sosialis yaitu PKH (Partai Komunis Hindia) yang dipentoli oleh  Semaun dan Laksono. Perselisihan sangat kentara antara Abdul Muis dan H. Agus Salim yang merupakan pimpinan Sarekat Islam. Tan Malaka diminta oleh Alimin agar menjadi pemersatu perseteruan mereka karena dengan ideologi komunis yang menanamkan nilai-nilai sosialis akan mudah membangun rakyat dari yang paling bawah. Tan Malaka diminta untuk mengkolaborasikan antara SI dengan PKH yang akan menjadi kekuatan besar jika mampu menyatukannya. Untuk menanamkan jiwa sosialis Tan Malaka membuat sekolah rakyat SI.
Perlahan-lahan sekolah rakyat SI semakin berkembang pesat. Nilai-nilai sosialis tertanam kepada anak-anak dini yang akan bermanfaat bagi Hindia. Yang paling mendasar dari gagasan Tan adalah mengkolaborasikan antara komunis dan Islam. Memajukan pemikiran rakyat yang mendorong untuk memerdekakan bangsa Hindia dengan perjuangan sendiri bukan menunggu pemberian. Tan Malaka juga banyak mengikuti kongres-kongres besar SI yang mengenalkan dia dengan tokoh-tokoh besar seperti H.O.S. Cokroaminoto, Sostrokardono dan Sadikun.
Tan Malaka adalah sosok komunis, namun dia masih mengakui tuhannya. Secara agama dia masih mempercayai Islam. Namun secara ideologi dia lebih mencondongkan nilai-nilai komunisme. Melalui kongres PKH Tan Malaka berhasil menjabat sebagai ketua organisasi komunis terbesar Hindia itu. Namun kongres itu justru membawa perpecahan setelah pemilihan ketua. Yaitu antara koalisi yang mengusung Alimin dengan koalisi yang mengusung Tan Malaka.
Karena penanaman pemikiran yang menentang kolonial, pihak Nederland merasa keberadaan Tan sangat membahayakan. Ditambah lagi dengan tulisan-tulisannya di surat kabar yang dapat memprovokasi masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada kolonial. Akibatnya melalui agen PID yang dipimpin sahabatnya dahulu, Jendral Hendrik, Tan Malaka ditangkap dan dijebloskan ke penjara Benceuy, Bandung. Selama dua tahun Tan Malaka mendekam di balik jeruji. Tan berhasil kabur dari penjara lantara gempa yang merobohkan sebagian bangunan sel. Selapasnya dari penjara tak menyurutkan perjuangan Tan. Tan melarikan diri dan menemui Haji Abdul Hasan. Seorang mualaf Tionghoa pengusaha batik. Pertemuannya dengan Abdul Hasan juga membawanya ke desa Sunten Jaya dan bertemu dengan Enur. Pertemuannya dengan Enur karena simpatinya terhadap penindasan yang dilakukan oleh pejabat desa yang memaksa pribumi untuk menyewakan tanah mereka kepada gubermen guna dijadikan ladang perkebunan. Lambat laun Enur dan Tan Malaka menjalin kisah asmara.
Tan berhasil bertemu kembali dengan Semaun. Anggota PHK yang sejalan dengan pemikiran, dan strateginya. Sebaliknya PKH dibawah kendali Alimin justru berkeinginan melakukan pemogokan kerja. Para buruh bahkan melancarkan serangan massa terhadap gubermen. Rencana tersebut jelas ditentang keras oleh Tan. Karena dengan aksi yang terkesan grusah-grusuh tanpa perencanaan yang matang jelas tentara gubermen akan dengan mudah melumpuhkannya. Para pejuang juga banyak yang bakal dieksekusi, dipenjarakan dan dibuang. Para masyarakat yang dekat dengan para pemberontak yang tak tau apa-apa juga akan banyak menjadi korban. Tan dan Semaun berkeinginan mencegah itu terjadi.
Pemberontakan PHK dibawah komando Alimin terjadi di berbagai daerah. Benar saja. Tentara gubermen dengan mudah mementahkannya. Dan dengan peristiwa itu gubermen punya banyak alasan untuk menangkap para anggota PKH. Banyak yang tertangkap dan dieksekusi mati. Selebihnya banyak yang dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya. Namun Semaun dan Tan belum berhasil tertangkap. Namun setelah beberapa kali berpindah-pindah Tan Malaka berhasil tertangkap PID dibawah komando Hendrik. Tan Malaka dibuang ke Boven Digul.

Biodata Penulis :
Hendri Teda. Penulis muda kelahiran Jakarta, 28 April 1983. Namun Hendri adalah asli tanah Pariaman, Minangkabau, Sumatra Barat. Hendri adalah seorang Editor, Cerpenis, Novelis dan banyak menuliskan artikel, essai, dan puisi di berbagai media massa. Penulis berbakat dengan banyak mendapatkan berbagai macam penghargaan, seperti juara Penulis Muda Minangkabau dari KAMMI, juara pertama Menulis Cerpen Lustrus ke-5 Fakultas Sastra Universitas Andalas, Pengarang Berbakat dari Dewan Kesenian Jakarta, dan pemenang sayembara Novel DKJ tahun 2010. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Sang Gerilya Institut (S@GI), sebagai redaksi portal berita online PipNews, dan aktif di Sekretaris Jendral Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia. Hendri sekarang bertempat tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Beberapa karya biografinya adalah Harry Azhar Aziz,  Amanah Sampai Akhir (2016), TAN: sebuah novel (2016). Beberapa juga menjadi editor Carut Marut Daya Saing Anak Negeri (2013), Arsitektur Bisnis Alomet (2013), Retaliation (2012), The Two Puppet War (2012), dan Kunci Republik (2011). Serta beberapa antologi cerpennya : Ketika Pemuda Membangun Masyarakatnya (2011), dan Geliat Masyarakat Untuk Pendidikan Kesetaraan (2013).

Tentang kepenulisan :
Novel Tan adalah novel Hendri yang pertama terbitan Javanica tahun 2016 dengan 427 halaman. Hendri Teja menuliskan novel dari tokoh yang kontroversial tentu telah paham dengan pola pemikiran dan juga gagasan-gagasannya yang patut untuk diuraikan dalam bentuk cerita. Cerita perjalan hidup Tan Malaka dikemas sedemikian menarik dengan terbumbui kisah asmaranya. Penggambaran-penggambaran karakter sangat jelas.
Image result for Hendri Teja
(image by Google.com)
Dengan peranan Hendri sebagai sekretaris jendral perkumpulan buruhnya, tak disangkal jika Hendri ingin mengajak masyarakat berfikir sebagaimana apa yang diperjuangkan Tan Malaka, bagaimana cara pandang dalam melawan kapitalisme yang nyatanya sekarang di Indonesia telah menerapkan pemikiran kapitalisme daripada cita-cita para pendiri bangsa yang ingin agar bangsa ini memberlakukan sistem ekonomi Pancasila. Novel ini dibuat untuk memberikan sedikit pengetahuan dari perjalanan tokoh yang pernah diberikan gelar kepahlawanan pada masa presiden Soekarno itu. Tan Malaka adalah seorang tokoh pahlawan yang berfaham komunis. Namun komunis yang dianut olehnya telah berkelas ma’rifat. Bukan kelas amatiran yang mengedepankan kekerasan atau bahkan siasat licik untuk merebut kekuasaan. Pemikiran Tan adalah bagaimana menyadarkan masyarakat untuk memahami bahwa kapitalismelah yang membuat bangsa ini terjajah sekian ratus tahun, memberikan penderitaan berkepanjangan. Menurutnya kesetaraan ekonomi, pendidikan serta politik antara kaum borjuis dengan proletar harus ditegakkan. Menurutnya prinsip ideologi barat harus hilang dari bangsa ini. Memang tokoh Tan sendiri masih menyisakan misteri. Bagaimana PKI pada masa pemerintahan Soekarno pelakukan pemberontakan yang dikenal dengan G30S/PKI dan kekuasaan beralih dari Soekarno ke Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Dan pada masa orde baru itulah segala apa yang berbau komunisme dihapuskan dari sendi-sendi masyarakat. Pemikiran-pemikiran sosialis dilenyapkan. Inilah yang mendorong Hendri untuk menulis bahwa sosialis tak melulu terhubung pada peristiwa kelam tersebut. Ini semata-mata untuk membukakan pemikiran masyarakat bahwa mungsuh terbesar bangsa ini adalah kapitalisme barat. 


Daftar pustaka:
Teja, Hendri. 2016. TAN Sebuah Novel. Banten: PT. Kaurama Buana Antara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tan Malaka Sebagai Pahlawan Indonesia yang Terlupakan (Dalam Novel Tan)

Oleh Muhammad Mustain     Ringkasan Cerita TAN Sebuah Novel : (image by Google.com) Tan Malaka adalah putra asli desa Lum...