Senin, 19 Juni 2017

Islam Sebagai Agama Yang Toleran dan Rohmatan Lil 'Alamin



Menjalani Kehidupan di Negara Islam
 Rohmatallil ‘alamin
Oleh: Muhammad Mustain


Anugrah yang patut saya syukuri dalam hidup ini adalah ketika saya terlahir di lingkungan Islam. Saya terlahir sebagai seorang yang otomatis menjadikan saya penganut agama yang rohmatal lil ‘alamin. Yaitu agama Islam.
Islam mengajariku makna sesungguhnya dalam hidup yang penuh dengan kebahagiaan. Mengajariku akan keberagaman dan keharmonisan. Menjunjung tinggi perdamaian yang menjadikan peradaban sangat panjang di negeri ini nyaris tanpa gejolak politik ataupun gejolak lainnya yang memicu perpecahan karena Indonesia dengan keberagamannya. Itu berarti menandakan penyebaran ataupun praktik-praktiknya tanpa bertentangan dengan moral dan adab kehidupan. Memang Nabi Muhammad sendiri telah meramalkan bahwa Islam akan terpecah menjadi 99 golangan. Namun dengan memaknai keberagaman dan menjadikan perbedaan itu sebagai suatu anugrah, maka Islam menyempurnakan seluruh kehidupan ini.
Saya besar sebagai golongan Islam yang bermadzhab Syafi’i. Golongan yang memiliki sanad yang jelas. Golongan yang sangat mencintai keberagaman. Golongan yang merangkul semua agama. Golongan yang turut membangun negara ini. Golongan yang mencampurkan antara tradisi dengan nilai-nilai islami. Golongan yang mencoba tanpa menghilangkan sedikitpun budaya asli penganutnya.
Saya berfikir, keceriaan anak-anak Islam yang ada di lingkunganku, yang dengan bebas bermain, menuntut ilmu di Taman Pendidikan Al-Qur’an, pondok pesantren dan lembaga dakwah lainnya tanpa ada tekanan ataupun intimidasi dari para pembesarnya. Beda halnya dengan anak-anak ataupun orang yang berkehidupan di negara-negara timur tengah lainnya yang penuh dengan konflik. Yang justru konflik-konflik itu akibat gesekan antara kaum muslimin sendiri. Konflik berkepanjangan yang berkambing hitamkan ketersesatan suatu golongan tertentu. Contoh saja di negara Suriah. Yang dulu sangat mashur tempat para ulama dan peradaban besar bangsa Islam kini luluh lantak akibat perang saudara yang berlatar perbedaan aliran. Sunni dan Syiah yang notabene adalah golongan Islam yang berbeda pandangan, cara berfikir dan orang yang menjadikan panutan menjadi rujukan mengharuskan mereka saling menghilangkan nyawa antar kaum muslimin.
Inilah yang membuat saya merasa sangat bersyukur. Selama ini para ulama negeri menyebarluaskan ajaran Islam di seantero nusantara dengan menjunjung tinggi pluralisme, menjunjung tinggi persatuan-dan kesatuan umat, menyebarkan dengan penuh toleransi dan memaknainya sebagai suatu keistimewaan yang sangat patut dijaga.
Di daerahku sendiri mazhab syafi’i yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadist mencoba mencampurkan atara tradisi dan nilai islami nyatanya malah sangat diterima dengan baik oleh penganutnya. Wayang dan ketoprak. Suatu kesenian asli daerahku yang dijadikan para ulama untuk menyebarluaskan ajaran islam itu sendiri. Ulama memasukkan nilai-nilai islamnya dalam sendi-sendi kehidupan yang penuh keberagaman.
Yang membuat saya heran, dan memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para ulama negeri ini yang diusung Walisongo, mengapa dengan suku bangsa, agama, ras, golongan, dan etnis yang sangat banyak namun negara islam ini nyaris tanpa konflik yang berlatar masalah agamanya itu sendiri yang ketika saya bandingkan dengan negara timur tengah yang secara kultur jauh lebih simple daripada yang ada di nusantara ini. Jadi menurut saya tonggak dan kiblat ajaran islam yang sesungguhnya yang memaknai segala aspek pengajarannya yang berlandaskan islam rohmatallil alamin patutlah menjadi contoh dan teladan negara-negara lain yang ingin menjadikan negara islam mereka tidak hancur seperti negara-negara islam di kawasan timur tengah seperti yang kita lihat sekarang.
Hari-hari saya ketika menjalankan kehidupan beragama juga sangat berkesan. Ketika hari-hari besar seperti Idul Fitri, di kampung saya dengan sangat ramai-ramai menyambutnya dengan penuh suka cita. Seolah semuanya larut dalam kebahagiaan. Para fakir miskinpun terbahagiakan dengan adanya zakat yang bertujuan menyetarakan atau setidaknya memberikan penghidupan kepada mereka yang memang tak berpunya. Islam sendiri di daerahku berjalan selaras. Kesan kebahagiaan saya yang terakhir adalah nikmat Allah yang menjadikan saya sebagai muslim Nahdhatul Ulama. Yang membolehkan penganutnya bersholawat, tahlilan, yasinan, mengirim arwah kepada leluhur dan guru-guru kita dengan doa maupun al-fatihah, berziarah kubur, dan tanpa merendahkan golongan lainnya yang memiliki pandangan yang berbeda akan makna budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tan Malaka Sebagai Pahlawan Indonesia yang Terlupakan (Dalam Novel Tan)

Oleh Muhammad Mustain     Ringkasan Cerita TAN Sebuah Novel : (image by Google.com) Tan Malaka adalah putra asli desa Lum...