Menjalani Kehidupan di Negara Islam
Rohmatallil ‘alamin
Oleh:
Muhammad Mustain
Anugrah
yang patut saya syukuri dalam hidup ini adalah ketika saya terlahir di
lingkungan Islam. Saya terlahir sebagai seorang yang otomatis menjadikan saya
penganut agama yang rohmatal lil ‘alamin. Yaitu agama Islam.
Islam
mengajariku makna sesungguhnya dalam hidup yang penuh dengan kebahagiaan.
Mengajariku akan keberagaman dan keharmonisan. Menjunjung tinggi perdamaian
yang menjadikan peradaban sangat panjang di negeri ini nyaris tanpa gejolak
politik ataupun gejolak lainnya yang memicu perpecahan karena Indonesia dengan keberagamannya. Itu berarti menandakan penyebaran ataupun
praktik-praktiknya tanpa bertentangan dengan moral dan adab kehidupan. Memang
Nabi Muhammad sendiri telah meramalkan bahwa Islam akan terpecah menjadi 99
golangan. Namun dengan memaknai keberagaman dan menjadikan perbedaan itu
sebagai suatu anugrah, maka Islam menyempurnakan seluruh kehidupan ini.
Saya
besar sebagai golongan Islam yang bermadzhab Syafi’i. Golongan yang memiliki
sanad yang jelas. Golongan yang sangat mencintai keberagaman. Golongan yang
merangkul semua agama. Golongan yang turut membangun negara ini. Golongan yang
mencampurkan antara tradisi dengan nilai-nilai islami. Golongan yang mencoba
tanpa menghilangkan sedikitpun budaya asli penganutnya.
Saya
berfikir, keceriaan anak-anak Islam yang ada di lingkunganku, yang dengan bebas
bermain, menuntut ilmu di Taman Pendidikan Al-Qur’an, pondok pesantren dan
lembaga dakwah lainnya tanpa ada tekanan ataupun intimidasi dari para pembesarnya.
Beda halnya dengan anak-anak ataupun orang yang berkehidupan di negara-negara
timur tengah lainnya yang penuh dengan konflik. Yang justru konflik-konflik itu
akibat gesekan antara kaum muslimin sendiri. Konflik berkepanjangan yang
berkambing hitamkan ketersesatan suatu golongan tertentu. Contoh saja di negara
Suriah. Yang dulu sangat mashur tempat para ulama dan peradaban besar bangsa
Islam kini luluh lantak akibat perang saudara yang berlatar perbedaan aliran.
Sunni dan Syiah yang notabene adalah golongan Islam yang berbeda pandangan,
cara berfikir dan orang yang menjadikan panutan menjadi rujukan mengharuskan
mereka saling menghilangkan nyawa antar kaum muslimin.
Inilah
yang membuat saya merasa sangat bersyukur. Selama ini para ulama negeri
menyebarluaskan ajaran Islam di seantero nusantara dengan menjunjung tinggi
pluralisme, menjunjung tinggi persatuan-dan kesatuan umat, menyebarkan dengan
penuh toleransi dan memaknainya sebagai suatu keistimewaan yang sangat patut
dijaga.
Di
daerahku sendiri mazhab syafi’i yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadist mencoba
mencampurkan atara tradisi dan nilai islami nyatanya malah sangat diterima
dengan baik oleh penganutnya. Wayang dan ketoprak. Suatu kesenian asli daerahku
yang dijadikan para ulama untuk menyebarluaskan ajaran islam itu sendiri. Ulama
memasukkan nilai-nilai islamnya dalam sendi-sendi kehidupan yang penuh
keberagaman.
Yang
membuat saya heran, dan memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para ulama
negeri ini yang diusung Walisongo, mengapa dengan suku bangsa, agama, ras,
golongan, dan etnis yang sangat banyak namun negara islam ini nyaris tanpa
konflik yang berlatar masalah agamanya itu sendiri yang ketika saya bandingkan
dengan negara timur tengah yang secara kultur jauh lebih simple daripada yang
ada di nusantara ini. Jadi menurut saya tonggak dan kiblat ajaran islam yang
sesungguhnya yang memaknai segala aspek pengajarannya yang berlandaskan islam
rohmatallil alamin patutlah menjadi contoh dan teladan negara-negara lain yang
ingin menjadikan negara islam mereka tidak hancur seperti negara-negara islam
di kawasan timur tengah seperti yang kita lihat sekarang.
Hari-hari
saya ketika menjalankan kehidupan beragama juga sangat berkesan. Ketika
hari-hari besar seperti Idul Fitri, di kampung saya dengan sangat ramai-ramai
menyambutnya dengan penuh suka cita. Seolah semuanya larut dalam kebahagiaan.
Para fakir miskinpun terbahagiakan dengan adanya zakat yang bertujuan
menyetarakan atau setidaknya memberikan penghidupan kepada mereka yang memang
tak berpunya. Islam sendiri di daerahku berjalan selaras. Kesan kebahagiaan
saya yang terakhir adalah nikmat Allah yang menjadikan saya sebagai muslim
Nahdhatul Ulama. Yang membolehkan penganutnya bersholawat, tahlilan, yasinan,
mengirim arwah kepada leluhur dan guru-guru kita dengan doa maupun al-fatihah,
berziarah kubur, dan tanpa merendahkan golongan lainnya yang memiliki pandangan
yang berbeda akan makna budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar