Oleh Muhammad Mustain
Ringkasan Cerita
TAN Sebuah Novel :
(image by Google.com) |
Tan Malaka adalah putra asli desa
Lumuik Suliki, Bukittinggi, Sumatra Barat yang memiliki nama panjang Sutan
Ibrahim Tan Malaka. Dia mendapatkan gelar Datuk Tan Malaka dari kakeknya
setelah meninggal dunia. Ketika itu usianya baru 16 tahun. Sebagai kepada datuk
pamucuk, Tan Malaka mendampingi sembilan datuk pamucuk lainnya
Ketika itu sebagai keturunan
bangsaawan, Tan Malaka mendapatkan sekolah guru di Kweekschool Bukittinggi. Dia
memiliki seorang guru yang sangat peduli dan simpati terhadap penduduk pribumi
Hindia. Dia adalah Gerardus Hendrikus Horensma. Kepala sekolah Kweekschool
Bukittinggi berasal dari negeri Nederland yang memberikan saran kepada Tan
Malaka untuk pergi ke Haarlem, Nederland, guna belajar di Rijkweekschool untuk
mendapatkan ijazah hoofdacte atau sarjana kepala sekolah. Nederland banyak memberikan sarana pendidikan
kepada rakyat pribumi guna melaksanakan politik etis atau politik balas budi
gagasan para pengusaha onderneming yang disetujui Ratu Nederland.
Tan Malaka sangat tertarik dengan
tawaran kepala sekolahnya itu. Ilmunya sangat dibutuhkan guna merubah pola
pikir rakyat Hindia untuk mengakhiri penjajahan, penindasan dan penyiksaan kaum
kapitalis kolonial. Maka Tan Malaka mendiskusikannya kepada datuk pamucuk
lainnya. Namun alih-alih mendapatkan dukungan, malahan Tan Malaka sangat
dikutuk apabila dia menginjakkan kakinya atau bahkan mengais ilmu di negeri
yang selama puluhan tahun menindas tanah kelahirannya. Namun Tan Malaka tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan resiko dia bakalan diacuhkan
penduduk desanya sendiri atau bahkan melepaskan gelar Datuk Tan Malaka. Dan
setelah berdiskusi dengan kedua orang tuannya, maka Tan Malaka memutuskan untuk
menerima tawaran Horensma.
Tan Malaka sampai di Nederland
terlambat satu bulan dengan jadwal penerimaan siswa baru. Namun Van der Ley,
direktur sekolah Rijkweekschool, berhasil diyakinkan Horensma untuk menerima
Tan Malaka belajar di sekolah itu.
Di Rijkweekschool, Tan Malaka
belajar membaca dan menulis untuk mencurahkan ide-ide gagasan pikirannya dalam
tulisan yang dia kirimkan ke surat kabar. Kebanyakan dia menuliskan
penindasan-penindasan yang dilakukan penjajah Belanda terhadap kaum pribumi
Hindia. Hingga dia banyak dikenal dengan nama Tan Malaka daripada nama aslinya,
Ibrahim. Tan Malaka banyak mendapatkan informasi kebiadaban penjajah akibat
tanam paksa dan kerja rodi dari tulisan-tulisan yang ia dapatkan di
perpustakaan tempat ia belajar yang ditulis tokoh-tokoh Nederland. Penderitaan
para pekerja rodi yang diharuskan bekerja sepanjang hari tanpa mendapatkan gaji
yang layak. Perlakuan kesewenang-wenangan penjajah, hingga akhirnya banyak
pekerja rodi yang mati kelaparan.
Suatu ketika Tan kembali ke Hindia ingin
membuktikan kebiadaban penjajah itu di suatu perbukitan yang akan dijadikan sebagai
pusat pasar. Meratakan suatu bukit yang dilakukan secara manual.
Penderitaan-penderitaan itu ditulis oleh Tan Malaka guna memenuhi tugas yang
diberikan oleh gurunya, Engku Guru Nawawi. Tak ayal, Engku Guru itu meradang
lantaran tulisan Tan Malaka yang mengkritik Nederland. Tulisannya dianggap
berbahaya dan dapat memicu ketegangan antara pelajar Nederland dengan pelajar
Hindia. Tulisan tersebut dianggap sebagai tulisan yang tak tahu rasa terima
kasih setelah apa yang dikasihkan Nederland untuk rakyat Hindia melalui politik
etis yang mana menjadikan kesetaraan dalam belajar antara Nederland dengan
Hindia.
Tan Malaka menempati sebuah kos.
Dalam kos tersebutlah Tan Malaka mengenal gadis yang membuatnya jatuh hati
untuk pertama kalinya. Gadis Nederland tulen itu bernama Fenny van de Sneijder.
Di dalam kos-kosan elit itu juga Tan berteman dengan Hendrik van Wijnpark, kekasih
Fenny. Tan Malaka dan Hendrik berteman akrab. Namun keakrabannya itu
mengharuskan ia diamanahi sebuah pesan untuk Fenny ketika Hendrik hendak
bergabung dengan kepolisian Nederland. Keakrabannya dengan Hendrik membuatnya
dekat dengan Fenny. Cinta segitiga pun terjalin di antara mereka. Kedekatan
antara Tan dan Fenny semakin memuncak ketika Tan Malaka menderita radang
paru-paru akibat cuaca dingin yang belum terbiasa padanya. Fenny dengan
ketulusan merawat Tan sampai sembuh. Dan suatu ketika Fenny mengungkapkan bahwa
dia mencintai Tan. Namun Tan Malaka tidak mengiyakan cinta tersebut walapun dia
sendiri mencintainy.
Perbekalan uang yang dimiliki Tan
Malaka telah menipis. Dia meminjam uang di NIOS, lembaga yang khusus memberikan
pinjaman uang untuk pelajar Hindia. Namun ketika dia mengajukan surat
permohonan, Tan Malaka justru mendapatkan surat undangan langsung dari A.N.J.
Fabius, salah seorang pembesar NIOS. Pembesar tersebut secara terang-terangan
menolak permohonan Tan Malaka lantaran pemikirannya yang anti kapitalis banyak
ditulisnya di berbagai surat kabar Nederland. Menurutnya pelajar seperti Tan
Malaka adalah seorang tak tahu diri itu tidak perlu mendapatkan pertolongan
keuangan. Masalah keuangannya diceritakan kepada Hendrik. Kebetulan ayah
Hendrik sangat dekat dengan para petinggi NIOS. Berkat bantuan dari ayah
Hendrik, Tan mendapatkan pinjaman uang dari NIOS.
Kendala keuangan juga yang
mengharuskan Tan Malaka ingin pindah dari kos-kosan elite tersebut. Fenny
mengajaknya pergi menemui pamannya yang kebetulan memiliki ruangan kosong
walaupun tidak cukup luas. Dia adalah mantan buruh yang memiliki pemikiran
sosialis, pemikiran yang mengatasnamakan rakyat dalam setiap pergerakan dan
kebijakannya. Pemikiran yang diajarkan oleh filsuf bernama Karl Marx. Pamannya
itu bernama Gerrit. Tan Malaka juga mengenal kaum sosialis lainnya, yaitu Herman
Wouters. Gerrit dan Wouters sering mengajak Tan Malaka diskusi mengenai
pemikiran-pemikiran kaum sosialis. Kaus sosialis amat sangat memusuhi kaum
kapitalis yang banyak menindas kaum proletar. Tan Malaka yang berasal dari
tanah jajahan tentu memiliki nasip yang sama dengan Wouters dan Gerrit yang
pernah berprofesi sebagai buruh yang harus mengabdi kepada para borjuis. Wouter
sendiri berasal dari Belgia yang pernah terinfasi Jerman. Pada waktu itu pula
Tan Malaka banyak membaca buku karya filsuf-filsuf eropa, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht karya filsuf Jerman.
Dari situ juga Tan Malaka mengenal istilah Leberte, Egalite, Fraternite. Di
negeri kincir angin tersebut Tan Malaka juga pernah bertemu dengan tokoh-tokoh
penggagas politik etis seperti wartawan yang menjadi sahabat R.A. Kartini, Van Kol
dan juga salah satu jendral Nederland, Jendral Eric. Ketika sedang menyaksikan
opera bersama Fenny Tan Malaka pernah berdiskusi dengan para penggagas politik
etis tersebut yang menurutnya hanya memberikan kesetaraan belajar saja,
pembangunan sekolah pemerintah seperti HIS, HBS, ELS, kweekschool, STOVIA, dan
OSVIA tidaklah cukup untuk membayar setiap keringat, darah dan tenaga rakyat
pribumi yang diperah Nederland. Menurut Tan tanpa kesetaraan berpolitik
mustahil kesejahteraan rakyat Hindia membaik yang hanya mengandalkan politik
etis. Menurutnya perlu pembentukan suatu dewan Hindia yang akan menyalurkan
aspirasi rakyat langusng ke parlemen Nederland.
Di Nederland Tan Malaka bergabung
dalam himpunan pelajar Hindia (PPHN) bersama dengan Kartadikara, Suwardi Suryaningrat
dan juga Cipto Mangungkususmo yang merupakan para priyayi Jawa. Mereka gencar
melancarkan ide-ide, menuliskan pikiran mereka tentang penindasan kaum borjuis
di media surat kabar seperti Het Volk, De
Locomotif dan De Telegraf. Menururt
Cipto Mangunkusumo politik etis hanya akal-akalan pengusaha onderneming untuk
mengusi kekosongan pegawai, karena sejak dijalankannya politik etis banyak
perusahaan swasta yang berjalan dan tentunya sangat membutuhkan pekerja
terampil.
Akibat tulisan-tulisannya di media
massa, Tan Malaka malah mendapatkan diskriminasi karena pemikirnnya dianggap
membahayakan pihak Nederland. Tan dipersulit dalam urusan belajarnya di
Rijkweekschool. Uang pinjaman NIOS telah jatuh tempo, padahal kesepakatan awal
hutang itu akan dilunasi tatkala telah mendapatkan ijazah guru kepala. Tan
Malaka disarankan untuk kembali saja ke Hindia dan mengabdi dengan ilmu yang
telah ia dapatkan untuk bangsanya. Urusan hutangnya terhadap NIOS, Tan Malaka
mendapatkan bantuan dari sahabatnya, Sneevliet. Percintaannya dengan Fenny
telah berhasil diketahui Hendrik. Persahabatan mereka rusak.
Setibanya di Hindia, Tan merasa
sangat malu untuk kembali ke kampung halaman karena pasti sukunya tidak akan
menerimannya lagi karena telah memutuskan meletakkan jabatan sebagai datuk
pamucuk dan memilih pergi belajar ke negeri yang menjajah mereka. Tan tinggal
di Medan dan mengajar di sekolah perkebunan tembakau Goed Bericht. Goed Bericht
adalah salah satu perusahaan swasta yang modalnya berasal dari pengusaha Eropa,
Amerika, Tiongkok dan sedikit dari pengusaha pribumi yang tentu saja hanya
memiliki saham beberapa. Tak heran jika perkebunan itu sangat luas dan memiliki
ribuan pekerja. Tan Malaka mendapat fasilitas mewah seperti rumah dinas, gaji
besar dan lainnya. Tan juga memilki seorang pembantu bernama Togap.
Tan pernah memprovokasi para
pekerja buruh perkebunan itu. Tan memberikan pemikirannya untuk melawan
terhadap kesewenang-wenangan kaum kapitalis. Memberikan pemahaman bahwa kaum
pribumi adalah yang berhak mengelola lahan perkebunan itu. Penindasan dan
kekejaman penjajah harus segera diakhiri dengan melawan dan memberontak secara
terorganisir. Pada suatu malam Tan Malaka dan beberapa pekerja perkebunan
melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar perkebunan besar milik Goed
Bericht. Kerugiannya yang dialami perusahaan sangat besar. Perusahaan itu
menelusuri penyebab kebakaran dan berhasil mengetahuinya karena bantuan
kepolisian dan agen intelijen Nederland, PID. Tan ditangkap karena dicurigai
sebagai provokator. Namun berkat pertolongan para pekerja dan Togap, sebelum
dibawa ke kantor polisi Tan di selamatkan.
Dia diberhentikan sebagai guru sekolah perkebunan itu. Setelah peristiwa
itu, Tan memutuskan untuk kembali ke negeri Lumuik Suliki. Segala cemooh warga
desa ia tepiskan lantaran ingin bertemu dengan orang tuannya. Setelah bertemu
orang tuannya, Tan memutuskan untuk meminta izin merantau ke Jawa. Menghadiri
kongres Sarekat Islam (SI). Menyalurkan ilmu-ilmu yang ia dapatkan di negeri
Nederland. Termasuk gagasannya tentang konsep sosialis.
Setibanya di Batavia, Tan mendapat
surat dari Sneevleat guna menemui Alimin, salah seorang tokoh SI. Sarekat Islam
(SI) adalah organisasi terbesar di Hindia yang dipimpin oleh Semaun. Namun SI
sempat terpecah dengan terbentuknya partai beraliran sosialis yaitu PKH (Partai
Komunis Hindia) yang dipentoli oleh Semaun
dan Laksono. Perselisihan sangat kentara antara Abdul Muis dan H. Agus Salim
yang merupakan pimpinan Sarekat Islam. Tan Malaka diminta oleh Alimin agar
menjadi pemersatu perseteruan mereka karena dengan ideologi komunis yang
menanamkan nilai-nilai sosialis akan mudah membangun rakyat dari yang paling
bawah. Tan Malaka diminta untuk mengkolaborasikan antara SI dengan PKH yang
akan menjadi kekuatan besar jika mampu menyatukannya. Untuk menanamkan jiwa
sosialis Tan Malaka membuat sekolah rakyat SI.
Perlahan-lahan sekolah rakyat SI
semakin berkembang pesat. Nilai-nilai sosialis tertanam kepada anak-anak dini
yang akan bermanfaat bagi Hindia. Yang paling mendasar dari gagasan Tan adalah
mengkolaborasikan antara komunis dan Islam. Memajukan pemikiran rakyat yang
mendorong untuk memerdekakan bangsa Hindia dengan perjuangan sendiri bukan
menunggu pemberian. Tan Malaka juga banyak mengikuti kongres-kongres besar SI
yang mengenalkan dia dengan tokoh-tokoh besar seperti H.O.S. Cokroaminoto,
Sostrokardono dan Sadikun.
Tan Malaka adalah sosok komunis,
namun dia masih mengakui tuhannya. Secara agama dia masih mempercayai Islam.
Namun secara ideologi dia lebih mencondongkan nilai-nilai komunisme. Melalui
kongres PKH Tan Malaka berhasil menjabat sebagai ketua organisasi komunis
terbesar Hindia itu. Namun kongres itu justru membawa perpecahan setelah
pemilihan ketua. Yaitu antara koalisi yang mengusung Alimin dengan koalisi yang
mengusung Tan Malaka.
Karena penanaman pemikiran yang
menentang kolonial, pihak Nederland merasa keberadaan Tan sangat membahayakan.
Ditambah lagi dengan tulisan-tulisannya di surat kabar yang dapat memprovokasi
masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada kolonial. Akibatnya melalui agen
PID yang dipimpin sahabatnya dahulu, Jendral Hendrik, Tan Malaka ditangkap dan
dijebloskan ke penjara Benceuy, Bandung. Selama dua tahun Tan Malaka mendekam
di balik jeruji. Tan berhasil kabur dari penjara lantara gempa yang merobohkan
sebagian bangunan sel. Selapasnya dari penjara tak menyurutkan perjuangan Tan.
Tan melarikan diri dan menemui Haji Abdul Hasan. Seorang mualaf Tionghoa
pengusaha batik. Pertemuannya dengan Abdul Hasan juga membawanya ke desa Sunten
Jaya dan bertemu dengan Enur. Pertemuannya dengan Enur karena simpatinya
terhadap penindasan yang dilakukan oleh pejabat desa yang memaksa pribumi untuk
menyewakan tanah mereka kepada gubermen guna dijadikan ladang perkebunan.
Lambat laun Enur dan Tan Malaka menjalin kisah asmara.
Tan berhasil bertemu kembali dengan
Semaun. Anggota PHK yang sejalan dengan pemikiran, dan strateginya. Sebaliknya
PKH dibawah kendali Alimin justru berkeinginan melakukan pemogokan kerja. Para
buruh bahkan melancarkan serangan massa terhadap gubermen. Rencana tersebut
jelas ditentang keras oleh Tan. Karena dengan aksi yang terkesan grusah-grusuh
tanpa perencanaan yang matang jelas tentara gubermen akan dengan mudah melumpuhkannya.
Para pejuang juga banyak yang bakal dieksekusi, dipenjarakan dan dibuang. Para
masyarakat yang dekat dengan para pemberontak yang tak tau apa-apa juga akan
banyak menjadi korban. Tan dan Semaun berkeinginan mencegah itu terjadi.
Pemberontakan PHK dibawah komando
Alimin terjadi di berbagai daerah. Benar saja. Tentara gubermen dengan mudah
mementahkannya. Dan dengan peristiwa itu gubermen punya banyak alasan untuk
menangkap para anggota PKH. Banyak yang tertangkap dan dieksekusi mati.
Selebihnya banyak yang dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya. Namun Semaun dan Tan
belum berhasil tertangkap. Namun setelah beberapa kali berpindah-pindah Tan
Malaka berhasil tertangkap PID dibawah komando Hendrik. Tan Malaka dibuang ke
Boven Digul.
Biodata Penulis :
Hendri Teda. Penulis muda kelahiran
Jakarta, 28 April 1983. Namun Hendri adalah asli tanah Pariaman, Minangkabau,
Sumatra Barat. Hendri adalah seorang Editor, Cerpenis, Novelis dan banyak
menuliskan artikel, essai, dan puisi di berbagai media massa. Penulis berbakat
dengan banyak mendapatkan berbagai macam penghargaan, seperti juara Penulis
Muda Minangkabau dari KAMMI, juara pertama Menulis Cerpen Lustrus ke-5 Fakultas
Sastra Universitas Andalas, Pengarang Berbakat dari Dewan Kesenian Jakarta, dan
pemenang sayembara Novel DKJ tahun 2010. Saat ini bekerja sebagai peneliti di
Sang Gerilya Institut (S@GI), sebagai redaksi portal berita online PipNews, dan
aktif di Sekretaris Jendral Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia. Hendri
sekarang bertempat tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Beberapa karya biografinya adalah Harry Azhar Aziz, Amanah Sampai Akhir (2016), TAN: sebuah novel
(2016). Beberapa juga menjadi editor Carut
Marut Daya Saing Anak Negeri (2013), Arsitektur
Bisnis Alomet (2013), Retaliation (2012), The Two Puppet War (2012), dan Kunci Republik (2011). Serta beberapa
antologi cerpennya : Ketika Pemuda
Membangun Masyarakatnya (2011), dan Geliat
Masyarakat Untuk Pendidikan Kesetaraan (2013).
Tentang kepenulisan :
Novel Tan adalah novel Hendri yang
pertama terbitan Javanica tahun 2016 dengan 427 halaman. Hendri Teja menuliskan
novel dari tokoh yang kontroversial tentu telah paham dengan pola pemikiran dan
juga gagasan-gagasannya yang patut untuk diuraikan dalam bentuk cerita. Cerita
perjalan hidup Tan Malaka dikemas sedemikian menarik dengan terbumbui kisah
asmaranya. Penggambaran-penggambaran karakter sangat jelas.
(image by Google.com) |
Dengan peranan Hendri sebagai
sekretaris jendral perkumpulan buruhnya, tak disangkal jika Hendri ingin
mengajak masyarakat berfikir sebagaimana apa yang diperjuangkan Tan Malaka, bagaimana
cara pandang dalam melawan kapitalisme yang nyatanya sekarang di Indonesia
telah menerapkan pemikiran kapitalisme daripada cita-cita para pendiri bangsa
yang ingin agar bangsa ini memberlakukan sistem ekonomi Pancasila. Novel ini
dibuat untuk memberikan sedikit pengetahuan dari perjalanan tokoh yang pernah
diberikan gelar kepahlawanan pada masa presiden Soekarno itu. Tan Malaka adalah
seorang tokoh pahlawan yang berfaham komunis. Namun komunis yang dianut olehnya
telah berkelas ma’rifat. Bukan kelas amatiran yang mengedepankan kekerasan atau
bahkan siasat licik untuk merebut kekuasaan. Pemikiran Tan adalah bagaimana
menyadarkan masyarakat untuk memahami bahwa kapitalismelah yang membuat bangsa
ini terjajah sekian ratus tahun, memberikan penderitaan berkepanjangan.
Menurutnya kesetaraan ekonomi, pendidikan serta politik antara kaum borjuis
dengan proletar harus ditegakkan. Menurutnya prinsip ideologi barat harus
hilang dari bangsa ini. Memang tokoh Tan sendiri masih menyisakan misteri.
Bagaimana PKI pada masa pemerintahan Soekarno pelakukan pemberontakan yang
dikenal dengan G30S/PKI dan kekuasaan beralih dari Soekarno ke Soeharto melalui
Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Dan pada masa orde baru itulah
segala apa yang berbau komunisme dihapuskan dari sendi-sendi masyarakat.
Pemikiran-pemikiran sosialis dilenyapkan. Inilah yang mendorong Hendri untuk
menulis bahwa sosialis tak melulu terhubung pada peristiwa kelam tersebut. Ini
semata-mata untuk membukakan pemikiran masyarakat bahwa mungsuh terbesar bangsa
ini adalah kapitalisme barat.
Daftar pustaka:
Teja,
Hendri. 2016. TAN Sebuah Novel. Banten:
PT. Kaurama Buana Antara.